Sebatang Randu Di Kampungku


Entah mengapa pagi itu sepulang joging dengan anakku, tiba-tiba dia bertanya tentang usia “pohon randu” yang jaraknya sekitar 100 Meter dari rumahku itu. Akupun berusaha mengingat-ingat sembari mengarahkan pandanganku ke pohon randu yang berdiri megah di pertigaan dekat Polres Bima itu. Untuk tidak mengecewakan anakku, enteng aku menjawab “Sebelum Papa lahir, pohon itu sudah ada.”

Ternyata pertanyaan yang sama pernah aku lontarkan kepada bapakku (almarhum) ketika aku kela II SMP (1982). Yang jelas menurut bapakku bahwa sejak beliau pertama datang di desa Panda pada tahun 1963, pohon itu sudah ada dan mengherankan, menurut bapakku bahwa ketika beliau datang, pohon randu itu besar dan tingginya seperti saat aku bertanya. Anehnya, saat anakku bertanya, pohon randu itu ternyata besar dan tingginya tidak berubah, kecuali ada 1 bagian dahan yang sengaja dipotong oleh polisi kala membangun pos di situ.

Kalau direnung-renung, ternyata pohon itu bisa dikatakan telah menyimpan sejarah. Sejarah berdirinya desa kami. Tanpa kami sadari pohon itu telah ikut menjadi saksi tumbuh kembang kami warga desa, menjadi saksi suka duka seluruh desa. Mencatat kenangan-kenangan terindah kami. Pohon randu tua yang belum lapuk di makan zaman itu, masih tegak bersaksi tentang kami. Tak seorangpun menyadari ini.

Dahulu di masa kanak-kanak, kami selalu memunguti bunga-bunganya yang rontok. Di sanalah kami menikmati merdunya nyanyian nuri dan burung-burung lainnya yang kini punah entah ke mana. Nuri-nuri dan burung lainnya ramai-ramai membuat lobang dipohon itu sebagai sarang, sehingga banyak tetua kami yang meramalkan bahwa randu itu akan segera tumbang. Tetapi nyatanya randu itu masih saja tegak berdiri dan ramalan tetua-tetua itu tak berlaku.

Masih kuingat juga, dahulu orang-orang kampung mengeramatkan randu tua itu. Sesepuh desa yang konon selalu mendapat wangsit dari penghuni randu itu, bahwa kalau ada wabah atau bencana yang akan menimpah desa, mengimbau warga untuk mengadakan selamatan bubur di bawah pohon randu itu. Satu keluarga masing-masing membuat bubur yang ditaruh dalam niru beralas daun pisang atau daun waru. Anak-anak bergerombol makan di sekeliling pohon itu, lalu air cucian tangan anak-anak itu disiramkan pohon randu. Prosesi ini masih ku ingat dilaksanakan setiap bulan dan menajdi ajang warga desa untuk bersatu, saling berbagi, bahkan saat-saat itulah ibu-ibu asyik menggosip. Bagi anak-anak seusiaku prosesi makan bubur itu merupakan bagian dari rekreasi masa kanak-kanak yang menjadi bagian dari kenangan. Entahlah saat itu apakah kami mengerti tentang datangnya bala atau bencana, yang penting masa kanak-kanak itu pernah berlalu di bawah pohon randu itu.

Begitu kentalnya warga kami mengeramatkan pohon itu. Sampai-sampai setiap kecelakaan yang terjadi di sekitar pertigaan itu atau penyakit yang melanda warga desa, selalu dikaitkan dengan kemarahan penghuni pohon itu. Katanya kalau ada pengendara yang ugal-ugalan pas melewati pohon itu, dipastikan akan mendapat musibah. Dan benar juga, waktu aku masih kecil sering menyaksikan para sopir atau pengendara selalu hati-hati kalau memasuki kawasan randu tua itu. Entahlah, apakah mereka takut pada penghuni pohon itu atau mereka sengaja memperlambat dan berhati-hati karena memang jalanannya sempit. Wallahualam.

Ketika pertama listrik masuk desa kami, petugas PLN ingin menebang pohon randui itu. Ramai-ramai warga desa melarangnya, bahwa kalau pohonn itu ditebang, aka nada bencana yang menimpa desa. Sehebat apapun petugas itu menjelaskan, tetapi tetap kalah dengan kepercayaan warga desa yang diwariskan turun temurun oleh tetua kami. Petugas PLN itupun mengurungkan niatnya.

Pernah juga ketika panitia pembangunan mesjid ingin menebang pohon itu untuk dimanfaatkan papannya untuk alas cor mesjid. Memang tak ada lagi tetua yang melarangnya, tetapi alasan yang diterima memang lebih ilmiah. Konon waktu orang-orang memasang kabel telepon, di pohon randu itu pernah ditanam kawat besi dan tak seorangpun dapat memperkirakan posisinya di bagian mana. Pertugas gergajipun urung menebang pohon itu, karena takut gergajinya rusak. Alasan lain, di pohon tua itu banyak tertanam paku oleh orang-orang yang memasang plakat-plakat reklame. Karena letaknya menamng strategis. Partai politikpun ikut andil menancapkan paku dan mewarnai pohon tua itu dengan plakat dan stiker. Namun, sesering apapun orang dan parpol menancapakan paku, pohon randu itu tetap tegak berdiri melebatkan daunnya yang menaungi sekitarnya.

Pertama aku kembali tinggal di desa ini, santer ada berita bahwa, Kakek said yang tinggal sekitar 30 meter sebelah barat pohon itu, sering menjumpai seseorang mengenakan jubah hijau setiap malam jumat. Diduga kuat dialah penghuninya. Kadang-kadang tercium aroma kemenyan. Namun sayangnya, hanya Kakek Said yang melihat dan mengalami hal itu dan kabar inipun beredar sesaat. Tidak seperti dahulu, setiap ada kabar seperti itu, warga desa heboh. Mereka ramai-ramai membuat bubur dan anak-anak menanti di bawah pohon randu itu. Ya, Kakek said dan tetua lainnya tinggal berkabar sendiri. Kabar yang diembuskannya tak lagi bertuah. Semua beriring dengan perubahan zaman dan tentu saja kepercayaan akan hal-hal yang berbau mistik mulai punah. Ajaran agama dan kemajuan teknologi memudarkan keramat randu dan tradisi bubur di desa kami.

Hal di atas pun pernah diramalkan oleh Abu Heko, tetua desa yang taat beribadah. “Suatu saat hal-hal keramat dari pohon randu itu tidak akan bertuah lagi.” Ungkapnya usai membimbing kami belajar ngaji. Tak satupun dari kami bertanya akan maksud ungkapan Abu Heko. Tetapi apa yang beliau ucapkan 30 tahun yang lalu, benar-benar bertuah sekarang. Sejalan dengan usianya yang makin menua, randu itu memang tak keramat lagi. Orang-orang makin banyak berkumpul di lindungan daunnya yang rimbun bukan untuk prosesi mistik lagi. Bahkan ketika pos polisi dibangun di situ, tempatnya menjadi semakin ramai.

Kini tidak ada lagi anak-anak yang memunguti bunganyauntuk dirangkai menjadi kalung-kalungan. Zaman telah menggantikan mainan itu dengan mainan plastic yang dibuat pabrik. Tak ada lagi cerita mahluk halus yang membuat bulu kuduk berdiri. Yang ada kini suara alunan lagu dan dentingan gitar dari polisi-polisi muda yang jaga diantarai  deru kendaraan yang lalu lalang.

Abu Heko benar, bahwa semua akan berubah dan berlalu. Walau pohon randu itu masih tegak berdiri dan berkali-kali gagal ditebang, suatu saat akan berakhir. Suatu saat randu itu akan roboh, tapi entah kapan. Yang jelas masa itu pasti datang dan randu itu hanya tinggal kenangan bahkan  dilupakan. (herry)

Share this post :

VIDEO KAMPUNG MEDIA

Arsip Kabar

Pengikut

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RIMPU CILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger