Oleh : Heryanto, S.Pd. Ina
Seiring dengan kelulusan SMP/SMA sebagai pertanda berakhirnya tahun pelajaran, maka sekolah mulai mengatur jadwal dalam rangka memasuki tahun pelajaran berikutnya. Salah satu kegiatan awal sekolah-sekolah adalah Penerimaan Siswa Baru (PSB). Calon siswa pun berdatangan untuk mendaftarkan diri ke sekolah yang mereka dambakan. Setelah melalui proses seleksi dan diterima, tidak serta merta mereka bisa berbahagia dengan kelulusannya. Masih ada satu tahap yang harus mereka lalui, yakni pendaftaran ulang.
Seiring dengan kelulusan SMP/SMA sebagai pertanda berakhirnya tahun pelajaran, maka sekolah mulai mengatur jadwal dalam rangka memasuki tahun pelajaran berikutnya. Salah satu kegiatan awal sekolah-sekolah adalah Penerimaan Siswa Baru (PSB). Calon siswa pun berdatangan untuk mendaftarkan diri ke sekolah yang mereka dambakan. Setelah melalui proses seleksi dan diterima, tidak serta merta mereka bisa berbahagia dengan kelulusannya. Masih ada satu tahap yang harus mereka lalui, yakni pendaftaran ulang.
Meski pendaftaran ulang ini
merupakan bagian dari proses yang harus dilalui oleh calon siswa, namun ada
beberapa sekolah yang biasanya menetapkan persyaratan daftar ulang yang sangat
memberatkan calon siswa. Akibatnya, kebahagiaan yang tertuang di papan
pengumuman kelulusan itu terbentur oleh bayangan ketidaksanggupan membayar
biaya daftar ulang yang menurut sebagian masyarakat begitu tinggi.
Tumpuan dari permasalahan
itu, tentu saja akan kembali kepada orang tua murid dan si anak itu sendiri.
Bagi orang tua yang mampu tentu saja hal itu bakan masalah, tetapi bagi
keluarga yang tergolong ekonomi lemah, hal itu tentu akan dirasakan sangat berat.
Merekapun akan terbelenggu antara dua beban. Di satu sisi mereka terbelenggu
oleh kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan di sisi lain mereka akan
terbelenggu oleh rasa sayang kepada anaknya. Makanya ketika berjuang melepaskan diri dari belenggu itu,
mereka tinggal memilih merelakan anaknya untuk putus asa atau memenuhi
keinginan si anak dengan berhutang. Itupun kalau ada kesempatan berhutang. Kalau
tidak, mereka harus merelakan harta untuk dijual atau digadaikan. Bagaimana
kalau semua jalan buntu? Pilihannya lebih sadis lagi, yakni si anak terpaksa
tidak melanjutkan pendidikan.
Beban ini juga sangat
mengobrak-abrik psikologis si anak. Kompetensi yang dia miliki akan tidak
berarti karena ketidakmampuan ekonomi. Belum lagi beban malu pada teman-teman. Hal-hal
ini yang tidak jarang menyebabkan si anak stress. Sungguh disayangkan hal ini
harus menimpa anak-anak yang kejiwaannya belum mapan. Sadis!
Kondisi seperti di atas
berlangsung dari tahun ke tahun dalam dunia pendidikan kita. Walaupun dalam
bahasa klise muncul slogan jangan sampai
anak tidak sekolah karena tidak mampu membayar. Itu hanyalah omong kosong. Pada
prakteknya sekolah-sekolah berlomba mematok biaya daftar ulang yang tinggi. Dengan
dalih untuk memperlancar program sekolah karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dirasakan tidak cukup.
Ada banyak modus yang
dilakukan oleh sekolah dalam menetapkan biaya daftar ulang. Panjar iuran
komite, panjar iuran OSIS, biaya seragam sekolah, atribut sekolah, kostum
olahraga, dan lai-lainnya yang membuat para orang tua harus mengelus dada. Lucunya,
dalam praktek sok suci ini berlangsung dalam lindungan Komite Sekolah yang seharusnya bisa menyampaikan aspirasi orang tua
murid. Hal ini patut dipertanyakan.
Permasalahan di atas
seharusnya menjadi perhatian bersama. Dewan Pendidikan, Pemerintah, dan para
wakil rakayat. Dewan Pendidikan harus benar-benar melaksanakan fungsinya untuk memberikan
pertimbangan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan sebagaimana
diamanatkan dalam PP Nomor 66 Tahun 2010. Janganlah hanya hadir sebagai pelengkap.
Apalagi sebagai penatap derita para siswa dan orang tuanya yang terbebani.
Demikian pula pemerintah
dalam hal ini Dinas Pendidikan. Janganlah sekadar mengirim imbauan lewat selembar surat kepada
sekolah-sekolah, tetapi seharusnya kepala dinas memantau langsung praktek
daftar ulang siswa baru yang sarat dengan pungli. Bila terbukti sekolah melakukan pungutan liar diberikan
sanksi tegas. “Jangan terlalu melankolis dalam menghadapi anak buah, Pak”
Kepada DPR/DPRD kembali kami
ingatkan tentang sebait syair lagu Iwan Fals:
“Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini”
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini”
Sebagai penutup tulisan ini,
terbersit satu harapan semoga hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan di negeri
ini jangan sampai terbelenggu karena ketiadaan biaya. Apa yang tertulis dalam peraturan
dan perundang-undangan, merupakan amanah
yang harus dilaksanakan oleh para pemangku jabatan di negeri ini.
Ingatlah,
bahwa “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. 4:58) dan ingatlah pula, bahwa doa orang-orang teraniaya itu, makbul.
Semoga menjadi renungan
bersama. Salam.
+ komentar + 2 komentar
jangan sampai hak pendidikan terhalang karena biaya,,semoga pemerintah semakin serius membenahi dunia pendidikan,,tulisan di Rimpu Cili bagus2,,mantap,,!!
Al ach, Makasih atas dukungannya... semoga kita dapat terus berbagi. salam KM