Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2005, Pasal 2 ayat 2 menjelaskan bahwa Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengansertifikat pendidik. Hak ini diperkuat dengan Permendiknas RI Nomor 10 Tahun 2009 Tentang sertifikasi guru dalam jabatan. Meski Permendiknas dikeluarkan pada tahun 2009, sertifikasi guru telah dilaksanakan sejak tahun 2006. Dengan ketentuan dan persyaratan yang telah ditetapkan, maka sejak tahun 2006 sebagian guru Indonesia telah disertifikasi sebagai tenaga profesional.
Berdasarkan Undang-Undang dan Permen di atas, guru profesiaonal diberikan tugas dan tanggung jawab melaksanakan tugasnya sebagai pendidik yang profesiaonal dan oleh pemerintah dihargai berdasarkan keprofesianalannya. Sehingga mereka (para guru) yang telah disertifikasi berhak mendapat tunjangan 1 kali gaji pokok. Ini merupakan penghargaan luar biasa bagi profesi guru yang selama ini terabaikan. Namun demikian, sertifikasi guru ini masih menimbulkan dilema antara lain :
1. Ketentuan wajib mengajar 24 jam pelajaran yang masih menjadi masalah serius yang dihadapi oleh para guru. Pasalnya jumlah guru yang disertifikasi makin banyak sementara rombongan belajar terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan dan BKD harus menganalisis secara transparan jumlah guru yang ada di tiap sekolah untuk dilakukan pemerataan.Selain itu pemerintah harus meninjau kembali kebijakan jam mengajar 24 jam.
2. Masing-masing provinsi tidak seragam menerjemahkan isi Permendiknas No.39 Tahun 2009 Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru. Oleh karena itu harus diadakan sosialisasi dan penjelasan yang mendetail yang menyangkut Permendiknas No. 39 ini. Misalnya, provinsi lain, walikelas dihitung sebagai jam mengajar sedangkan di NTB tidak diakui. Padahal tugas sebagai walikelas sangat membutuhkan tenaga profesional.
3. Belum ada formula yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengukur keterlaksanaan tugas guru sertifikasi sehingga mereka benar-benar menjalankan profesinya dari merencanakan, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembelajaran dan tugas-tugas tambahan lainnya dalam rangka pemenuhan kewajiban profesional.
Untuk poin 3 di atas, pemerintah sudah mulai mempersiapkan Tim Penilai Kinerja Guru dengan melaksanakan Diklat bagi Pengawas, Kepala Sekolah, dan guru senior yang dianggap cakap untuk melalukan penilaian kinerja. Namun yang menjadi kekhawatiran kita adalah kompetensi orang-orang yang akan menilai kinerja. Padahal, kenyataannya selama ini banyak kepala sekolah yang tidak melaksanakan tugas profesinya sebagai pengajar (tidak lagi mengajar) bahkan jumlah jam mengajar mereka kebanyakan rekayasa. Dalam pembagian tugas dan jadwal pelajaran (roster) nama mereka tetap muncul padahal kenyataannya mereka tidak pernah masuk kelas. Ada pula yang mengambil posisi sebagai guru Bimbingan Konseling (BK)fiktif. Ini pernah ditemukan oleh Tim BPKP. Banyak kepala sekolah yang tidak mengajar dan tidak memiliki program pembelajaran.
Di sisi lain, tim penilai kinerja ini harus benar-benar orang yang memiliki kredibiliatas tinggi. Sebab, nanti bisa saja terjadi penekanan yang berujung pada pemerasan terhadap guru,
Kasus pemotongan tunjangan sertifikasi yang terjadi di Kantor Kemendag Bima yang belum tuntas sampai sekarang, patut menjadi pertimbangan bersama. Penilaian kinerja guru harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kinerja guru sehingga bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, tetapi jangan samapai kesempatan itu dimanfaatkan untuk mendolimi guru. Semoga menjadi cermin bersama. (herry)