Soaialisasi Pendidikan Berkarakter Belum Merata
Oleh : Heryanto, S,Pd. Ina.
Sejak dicanangkan oleh Presiden RI beretepatan dengan Hari Kebangkitan Nasioana tanggal 20 Mei 2011, isu penerapan pendidikan berkarakter mulai dikembangkan terutama di lingkup dunia pendidikan. Penerapan pendidkan budaya dan berkarakter bangsa ini dirasakan penting untuk dikembangkan mengingat perubahan karakter yang sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang sangat negatif ditinjau dari karakter asli bangsa Indonesia yang dikenal religius, santun, bermartabat, toleran, bersahabat, dan sebagainya.
Kalau kita kembali membaca sejarah bangsa ini yang berkaitan dengan upaya berbagai pihak dalam menanamkan nilai-nilai karakter bangsa, sudah banyak yang dilakukan. Penataran P4, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), Pendidkan Budi Pekerti, dan pengintegrasian Imtak ke dalam setiap mata pelajaran, merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam rangka menanamkan nilai-nilai karakter bangsa kepada generasi bangsa ini. Namun demikian, program-program suci itu terabaikan setelah bangsa Indonesi memasuki masa reformasi.
Terlepas dari tantangan yang dihadapi di atas, maka sekarang penanaman nilai-nilai karakter bangsa kepada generasi harus dilaksanakan. Memang, tidak gampang. Namun kita jangan pesimis karena apa yang kita terapkan sekarang, hasilnya akan kita lihat 10 atau 20 tahun yang akan datang.
Dalam rangka penerapan pendidikan berkarakter dan budaya bangsa ini, Kementerian Pendidkan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Pusat Kurikulum, dan LPMP telah melakukan sosialisasi. Namun demikian sosialisasi Pendidikan karakter masih belum merata. Belum lagi dari ketiga lembaga di atas belum ada keseragaman dalam pengembangan pendikan berkarakter ini. Masing-masing pihak menawarkan model yang berbeda sehingga di lapangan sekolah dan para guru kebingungan untuk menentukan mana yang tepat.
Sebagai contoh, di lingkup Dinas Dikpora Kota Bima, terjadi perbedaan pemahaman antara pengawas dan instrukur dalam pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam setiap mata pelajaran. Pengawas bersama kepala sekolah telah menyepakati pengintegrasian nilai-nilai karakter pada bagian materi pelajaran dalam silabus, sedangkan para instruktur berdasarkan informasi dan pedoman penerapan nilai-nilai karakter, pengintegrasian dimasukan ke dalam kegiatan pembelajaran.
Memperhatikan kesalahpahaman di atas, maka dalam hal ini perlu dijelaskan, berdasarkan pedoman yang dikelurkan oleh Balitbang Puskur Kemendiknas, Pendidikan Berkarakter dan Budaya Bangsa tidak diajarkan tetapi dikembangkan dalam pembelajaran (baca Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa:12). Jadi berdasarkan petunjuk tersebut, maka penilaian yang dilakukan bukan penilaian hasil tetapi penilaian proses, sehingga pengintegrasian nilai-nilai itu yang lebih tepat ditempatkan pada bagian kegiatan pembelajaran. Dengan demikian dalam setiap pembelajaran, guru melakukan pengamatan terhadap perubahan perilaku siswa berdasarkan nilai-nilai karakter yang telah diintegrasikan ke dalam silabus dan RPP.
Untuk lebih tajamnya pemahaman guru dalam hal penanaman nilai-nilai karakter ini, maka sangat diperlukan adanya sosialisasi yang merata dan menyajikan informasi yang jelas, sehingga tidak terjadi dualisme pemahaman. Duduk bersama berbagai pihak sangat penting untuk berbagi informasi. Kepada pemerintah daerah agar bisa memfasilitasi kegiatan sosialisasi program pendidikan budaya dan karakter bangsa ini. Jangan sampai program yang muluk-muluk dari pemerintah pusat, sesampai di daerah gagal hanya karena alasan klise, yakni keterbatasan dana.