Dengan tiba-tiba aku diperkenankan menjadi pembina upacara bendera di sekolah tempatku mengajar. Aku bingung materi apa yang akan kupidatokan di hadapan puluhan guru dan ratusan siswa. Akupun berpikir tentang tema-tema yang akan kusampaikan dan sampai pada kesimpulan bahwa aku akan mengulas tentang peringatan hari Kebangkitan Nasional (harkitnas) yang baru saja lewat.
Sampai pada saatnya aku mengulas tentang harkitnas dan pengaruhnya bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kuceritakan tentang bagaimana para pemuda jaman dahulu bahu membahu berjuang untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah hingga kemerdekaan itupun diraih dengan sempurna. Namun demikian, sampailah pada saatnya aku mengajukan beberapa pertanyaan kepada peserta upacara untuk menguji seberapa pahamnya mereka tentang harkitnas.
Pertanyaan pertama “Mengapa tanggal 20 Mei diperingati sebagai harkitnas?” dari seluruh peserta upacara tak satupun bisa menjawab. Padahal aku sudah menjanjikan hadiah Rp.50.000,- bagi yang bisa menjawab. Pertanyaan berikutnya “Sebutkan nama-nama tokoh pendiri Budi Utomo?” Pertanyaan inipun tak ada yang bisa menjawabnya dan hadiah Rp.50.000 itu kumasuk kembali ke dalam sakuku. Sebelum aku mengakhiri amanat pembina, kulemparkan lagi satu pertanyaan yang bagiku aneh “Sebutkan tokoh cerita sinetron Putri yang Ditukar di RCTI?” Sontak semua peserta upacara mengangkat tangan untuk berebut menjawabnya. Aku heran dan bertanya-tanya dalam hatiku “Apa yang salah dengan generasiku hingga mereka tak mengetahui sejarah perjuangan bangsanya?”
Sekilas aku terkenang ketika aku sekolah dahulu. Guru-guruku bercerita tentang kegigihan para pahlawan berjuang merebut kemerdekaan dari para penjajah. Mereka telah berjuang sampai tetesan darah penghabisan. Kami menyimaknya dengan terkagum-kagum. Bahkan tidak jarang di antara kami menitikan air mata. Di akhir ceramahnya Sang guru pun tidak lupa berpesan kepada kami akan pentingnya kami berjuang mengisi dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih oleh para pahlawan. Pada saat itu dada-dada kami dibakar semangat. Semangat untuk menghargai jasa para pahlawan. Semangat untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.
Bukan itu saja. Setiap kami menjadi siswa baru atau pun mahasiswa baru, kami ditatar tentang Pedomaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Setiap sila dari Pancasila dijabarkan untuk dihayati dan diamalkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian di kelas kami diberikan matapelajaran IPS Sejarah dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Dengan demikian lengkaplah pemahaman kami tentang Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa ini.
Kini apa yang terjadi? Generasiku banyak yang lupa tentang sejarah perjuangannya. Lupa memaknai dan mengamalkan Falsafah bangsanya. Bahkan pendidikan yang berhubungan dengan pancasila dipangkas. Bagian dari sejarah sengaja dikaburkan dengan alasan rekayasa orde baru. Kini pahlawan mereka bukan lagi Pangeran Dipponegoro, Imam Bonjol, Dr. Sutomo, Sukarno, Hatta, Bung Tomo dan lainnya. Tetapi pahlawan mereka kini adalah para artis. Pahlawan mereka tokoh-tokoh sinetron. Bahkan ada di antara mereka yang mengaku bahwa pahlawannya adalah Naruto.
Apa yang saalah dengan generasiku? Padahal bangsa ini telah memasuki babak baru yakni reformasi yang merupakan bagian dari kebangkitan bangsa ini. Kalau pada zaman dahulu sebelum reformasi itu, kami kebanyakan berasal dari anak petani. Hidup kami di sawah, kebun, dan ladang. Dari sanalah permata-permata itu kami gali. Dari sanalah bulir-bulir kami petik. Begitu makmur. Begitu damai. Walaupun zaman kami negara ini hanyalah dijuluki negara agraris, tetapi kami aman dan damai. Yang tua menyayangi yang muda. Yang muda hormat kepada yang tua.
Ke mana bangsaku kini? Kemana peradaban yang dulu begitu bersahaja. Ke mana suara mengaji di rumah-rumah, anak-anak belajar menghafal Pancasila dan UUD 45, menghafal perlakian 1 sampai 10 dengan suara lantang dan para orang tua membusungkan dadanya karena bangga dengan kepintaran anaknya. Kini semua telah berubah. Kesantunan pun sirna. Suara mengaji berubah jadi tarung dangdut. Hafal perkalian berubah jadi serial-serial sinetron yang entah kapan berakhir. Dan kesokan harinya guru-guru di sekolah mengeluh karena hanya segelintir siswanya yang mau mengerjakan PR. Inginnya mereka memberikan hukuman seperti kami dahulu dihukum guru. Ah… jangan pak guru. Jangan sekali-kali engkau menghukum siswamu seperti guru kami dahulu. Sebab pada jaman itu kalau guru menghukum kami, orang tua pun ikut menghukum kami. Sedangkan sekarang kalau anaknya dihukum guru dengan sekedar dicubit, mereka sudah membawa massa berparang ke sekolah. Kemudian beritanya pun diheboh-hebohkan di koran-koran dan media masa lainnnya. Hati-hati pak guru. Inilah kebagkitan bangsa ini dan kalau tidak waspada kita akan ditelan oleh kebangktan brutal ini. Kebangkitan yang tak terkendali yang dibumbui nafsuh angkara murka.
Seorang mantan siswaku yang kini menjadi mahasiswa menandai artikelnya dalam facebookku. Dalam artikelnya dia mengusulkan agar salah satu pasal dalam UUD 45 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Menurutnya bila pasal itu masih tertulis, maka kebohongan negara dan pemimpin-pemimpin negara ini terus menumpuk karena kenyataannya orang-orang miskin dan terlantar menumpuk di negara ini. Aku menyadari bahwa idenya ini merupakan suatu pelanggaran bagi sebagian orang, tetapi aku turut memberikan jempol bersama ratusan penyuka lainnya. Lantas, untuk siapa kebangkitan itu?
Aku masih terkenang kala orde baru diruntuhkan oleh kaum reformis. Mahasiswa menagisi keberhasilannnya. Tokoh-tokoh reformasi sujud syukur. “inilah kebangkitan baru. Pemerintahan yang KKN telah runtuh.” Itulah bagian dari teriakan mereka. Apa yang terjadi kini? Kemana teriakan pahlawan reformasi dulu? Mengapa KKN makin meraja lela? Inikah kebangkitan yang mereka janjikan? Menilik kenyataan yang tampak kini, satu pertanyaan muncul. Akankah bangsa ini mampu bangkit?