Husayn Laodet |
RENCANA penyelenggaraan Festival Keraton Nusantara (FKN) di Bima pasca mangkatnya Sultan Bima XVI, H Ferry Zulkanain ST (alm) diguncang dengan munculnya rencana pihak tertentu mengalihkan anggaranya untuk program pembangunan lainnya. Menanggapi rumor itu, Budayawan Muda Bima, Husayn Laodet kepada KM Rimpu Cili dengan tegas mengatakan, FKN harus tetap dilaksanakan.
Ditemui di sebuah acara dialog regular pembahasan implementasi UU KIP, Selasa (21/1), Odet, panggilan akrabnya menjelaskan, FKN bukan sekedar kegiatan seremoni kumpul-kumpul orang-orang kerajaan, tapi maknanya lebih dari itu. Yakni menunjukkan kejayaan Kerajaan Bima pada masanya yang cukup disegani di Nusantara. “Sebagai warga Bima kita sepatutnya bangga Bima menjadi pelaksana FKN,” katanya.
Jika alasannya FKN tidak dilaksanakan karena tidaknya adanya Sultan, ini sebuah sikap konyol. Lagi pula, bukan syarat utama terselenggaranya FKN, baru kemudian Sultanya dilantik. “Saya rasa ini keliru, sebab Bima ditunjuk karena memang daerahnya pernah berkembang sebuah Kerajaan di bawah kepemimpinan Sultan Bima dari masa ke masa. Secara administratif mungkin ia”, terangnya.
Wafatnya Sultan Bima sebenarnya adalah berita nasional, di mana semua mata memandang sepak terjangnya dalam pemerintah kerajaan. Lalu saat kegiatan FKN, semua mata tertuju pada Bima lagi, sebagai salah pusat peradaban Islam yang pernah berkembang pada zamannya. “Kalau FKN dibatalkan, mau taruh di mana muka Bima. Ini pertaruhan nama baik masyarakat Bima di hadapan kerajaan nusantara,” katanya.
Rencana pengalihan anggaran FKN ke urusan pembangunan kantor Pemkab Bima oleh sebagian anggota dewan diduga sengaja dilakukan agar memudahkan langkah oknum tertentu mengambil keuntungan secara pribadi atau kelompok. Rasionalnya, kepentingan siapa di balik keinginan menggagalkan FKN. “Jangan-jangan ini trik untuk mengelabui agar mereka sendiri yang mengkorupnya,” tuding Odet.
FKN adalah kegiatan masyarakat Bima yang memiliki daerah Kesultanan. Harapannya masyarakat Bima jangan naiflah. Kita tetap memiliki Sultan, meskipun jasadnya sudah tidak ada. Nama Ferry itu tetap dikenang sebagai Sultan Bima ke XVI, sehingga bukan alasan bagi acara sekelas FKN tidak jadi diadakan lantaran Sultan Bima tidak ada. “Itu aturan dari mana?”, heranya.
Lanjutnya, bila benar anggota dewan menghadang kegiatan FKN, berarti mereka telah memangkas keinginan rakyat. Ingat, FKN ini hasil musyawarah Keraton se Nusantara. Kalau dibatalkan, orang tidak akan memberikan kepercayaan lagi.
“Apalagi rencana FKN itu sudah diniatkan sejak lama, dan seringkali tertunda, bahkan guna menyambutkan pemerintah ketika itu membangun gedung bersejarah, Paruga Nae yang kini jadi gedung mewah Convention Hall Kota Bima,” urai, ayah dua anak ini. Ridho dan Tania.
Dengan terselenggaranya FKN, berarti semua perhatian ada di Bima. Ini keuntungan besar bagi Bima dalam mempromosikan potensi daerah. “Seharusnya mereka sebagai wakil rakyat mempertahankan even ini, bukan malah menggagalkannya,” cetusnya.
Ditanya apa yang perlu dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima sebagai leading sektor rencana penyelenggaran FKN? Kata Odet, karena ini hajatan masyarakat Bima, pihak terkait sebaiknya mengundang semua elemen penting masyarakat Bima, jangan berpikir hanya kabupaten, atau Kota Bima saja, tapi memikirkan kepentingan Bima secara utuh.
“Kumpulkan semua elemen, lembaga adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, budayawan dan pihak terkait lainya lakukan musyawarah tentang pelaksanaan FKN. Apakah rencana itu digugurkan atau tidak. Bukan keputusan anggota karena mereka tidak jelas mewakili siapa untuk saat ini tapi mewakili kepentinganya,” tandasnya. (SMD)