Ina Sei warga desa Naru Woha |
INA SEI, begitu warga kampung memanggilnya. Nenek yang usianya sekitar 65 tahun ini merupakan warga Desa Naru Kecamatan Woha yang tergolong sangat miskin. Betapa tidak, ia hidup dalam keterbatasan ekonomi sepeninggal suaminya (Abidin, alm) tiga tahun lalu yang meninggal dunia karena sakit parah.
Ina Sei pun harus menanggung tiga anak kandung dan dua orang cucunya. Mengingat faktor umur, Ina Sei tak mampu mencari rezeki untuk kebutuhan keluarganya. Bahkan hanya menunggu uluran tangan dari tetangganya sekedar untuk makan sekali sehari.
Kehidupan janda tiga anak dan dua cucu itu semakin hari semakin memprihatinkan, seiring perjalanan waktu yang terus menua, rezeki yang diharapkan tak pasti dan tak mampu menopang hidup di tengah kehidupan yang serba materialistik. Padahal ketika suami tercinta masih di pangkuan, kebutuhan sehari-hari dari penggalian pasir sangat cukup mengepulkan asap dapur. Tapi kini sudah berbeda, ia harus berjuang demi mempertahankan hidupnya bersama tiga anak dan tiga cucunya. “Ya, itupun pemasukannya tidak pasti,” ujar Ina Sei, yang ditemui di bilangan Desa Naru, Jum’at (6/12).
Mau mencari pinjaman modal untuk usaha, siapa yang mempercayai, mengingat pemasukannya tidak ada. Kehidupan dulu dan kini berbeda. Dulu semasih suaminya hidup, kebutuhan Ina Sei dan keluarga lumayan ada, walaupun sedikit tapi ada yang masuk.
Mereka, pasangan suami isteri terlihat kompak saat mencari pasir di sungai samping Desa Naru. Pasir hasil pencarian keluarga Sei sangat diminati para masyarakat, karena merupakan pasir nomor satu di Woha, bahkan Kabupaten Bima.
Suara air mengalir tanpa ada batasnya, begitu pula keluarga Sei yang saban hari mencari pasir, tanpa ada batas sungai, karena hingga belakang Desa Tenga Kecamatan Woha, keluarga miskin itu terus mencari pasir langgananya. Mereka tak kenal lelah demi memikirkan kebutuhan anak-anaknya. “Kebutuhan anak yang saya utamakan, walaupun separuh badan terendam air sampai perut,” cetusnya sekali-sekali.
Saking semangatnya mencari pasir, Sang Suami tak menghiraukan rasa sakit yang mendera. Rasa sakit itu muncul ketika malam tiba. “Aduh, aduh, aduh sakit Sei. Kaki saya sangat sakit,“ keluh Bedo, sapaan suaminya yang dikutip Ina Sei.
Setelah dilihat ternyata Bedo mengalami kesakitan pada bagian kaki, tepat di bawah jari-jari kaki yang terlihat pecah-pecah. Ternyata setelah diperiksa, Bedo mengalami alergi air sungai,” kenang Sei dengan nada terbata-bata.
Walaupun terasa sakit, dan divonis oleh dokter untuk tidak lagi mengambil pasir, larangan itu hanyalah larangan, tapi bentuk tangungjawab Bedo terhadap isteri dan anaknya sangat bersahaja, walaupun menahan kesakitan, Bedo terus mencari pasir.
Tepatnya pada tahun 2010 lalu sepasang keluarga itu dipisahkan oleh Allah. Bedopun meninggalkan keluarganya untuk selama-lamanya. Dan pada saat itu pula, kebutuhan ekonomi Sei semakin tak pasti, bahkan benar-benar tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Apalagi sekedar untuk membeli es seharga seribu rupiah pun, janda tua itu tak mampu memenuhinya padahal anaknya minta dibelikan es. “Hati saya ini rasanya sakit, ketika uang Rp 1000 saja, saya tidak punya,“ keluhnya.
Sampai saat ini, dirinya sangat terpukul dengan kehidupan ini. Namun dia tetap mengembalikannya kepada Allah SWT, karena ini semua sudah menjadi takdir. Apapun yang menjadi milik kita itu datangnya dari Allah, dan kembali pula kepada Allah. ”Saya pasrah menjalani hidup ini,” pungkasnya, sembari menghapus titik kelopak matanya yang terus bercahaya. (smd)