H. Ferry Zulkarnaen, ST (Sultan Bima XVI) |
Prosesi Tuha ro lanti (pelantikan) Bupati Bima sebagai Sultan Bima tersebut dihadiri para Raja dan Sultan, seperti Kesultanan Burnai Darusalam, Sultan Malaysia, para sultan yang tergabung dalam forum Sultan Nusantara, tokoh budaya, Wakil Gubernur NTB H. Badrul Munir, MM, Bupati dan Walikota se- NTB.
Ketua Majelis Adat Kesultanan Bima Sara Dana Mbojo, Hj. St Maryam dalam sambutannya mengatakan, upacara adat tuha ro lanti Sultan Bima ke XVI dilakukan untuk melestarikan nilai luhur budaya bangsa, sebagai pembelajaran generasi muda terhadap nilai - nilai kearifan lokal Dana Mbojo, sebagaimana lazimnya acara pelantikan Kesultanan Bima yang dilakukan secara turun temurun. “Pelantikan Sultan Bima ke-XVI ini, lebih bermakna dikemas mirip seperti pelaksanaan yang sesungguhnya tempo dulu dalam bentuk upacara “Tuha Ro Lanti” sehingga masyarakat dapat mengenal peradaban dan adat budaya yang telah terjadi di masa lalu,” jelasnya.
Tujuan pelantikan atau Tuha Ro lanti Ferry Zulkarnaen sebagai Sultan Bima, juga sebagai ajang promosi dan sosialisasi seni budaya daerah Bima serta menumbuhkembangkan atraksi- atraksi seni dan budaya tradisional Bima yang saat ini mulai pudar di tengah - tengah kehidupan masyarakat Bima.
Sementara Wagub NTB, H. Badrul Munir mengatakan, pelantikan Kesultanan Bima ke XVI, merupakan prosesi yang sangat bersejarah yang sungguh tidak mungkin bisa terlupakan oleh sejarah Dana Mbojo. “Atas nama Pemprov NTB memberikan apreasiasi atas terselengggaranya acara pelantikan KesultananBima karena acara seperti ini memberikan nilai sejarah bagi kita semua,” katanya.
Ucapan selamat dari Sultan Palembang Kepada Sultan Bima usai prosesi Tuha ro Lanti |
Menurutnya, sangat keliru ketika masyarakat tidak melestarikan adat dan budaya. Pelantikan Sultan Bima bisa dijadikan acuan seluruh lapisan masyarakat di wilayah Kabupaten Bima untuk lebih mengenal dan mengetahui sejarah dana Mbojo yang hakiki.
Kata dia, Kesultanan Bima telah memberikan konstribusi begitu banyak untuk bidang pembangunan terlabih lagi konstribusi untuk kemajuan pembangunan peradaban dalam nilai- nilai agama terlebih lagi kemajuan dalam bidang kebudayaan.
“Mari kita bangun kekompakkan secara utuh membangu Dou Labo Dana Mbojo yang lebih maju yang agamais dan memiliki prinsip kehidupan yang selalu menjunjung tinggi etika dan estetika sesuai dengan kultur adat dan budaya yang dimiliki,” harapnya.
Liputan para wartawan, ilustrasi acara Tuha Ro Lanti Sultan Bima yang ke XVI diawali bunyi lonceng dari lere-lere sebanyak 7 kali yang diawali dengan pembacaan Qalam Illahi, setelah itu genderang suara tambu dibunyikan, rombongan Ncuhi memasuki arena menuju puncak (dana Ma babuju) untuk melakukan musyauwarah dan pada saat para Ncuhi mengadakan Musyawarah rombongan “Jena Teke” mulai berangkat dari ASI Serasuba yang diawali empat orang Sere, Kalila, Jena Teke, pasukan suba, perangkat jeneli dan bumi-bumi serta kelaurga.
Pengalungan Selendang dari Kesultanan Demak |
Setelah itu, Ncuhi Dara memimpin musyawarah dengan para ncuhi-ncuhi masing- masing Ncuhi Dorowuni, Ncuhi Bolo, Ncuhi Banggapupa, Ncuhi Parewa diatas Dana ma Babuju hingga sampai pada kata sepakat bahwa Jena Teke pantas untuk diangkat mejadi Sultan Bima XVI dan setelah para Ncuhi menyepakati Jena Teke diangkat menjadi Sultan Bima ke XVI.
Selanjutnya, Ncuhi Dara berdiri diatas “Dana Ma Babuju” sembari berteriak kepada masyarakat yang hadir untuk memberitahukan kesepakatan dimaksud. Setelah dibalas teriakan setuju dan sambutan asma Allah secara bergantian oleh masyarakat, dilakukanlah pelantikan Jena Teke untuk menjadi Sultan Bima dengan memasang Mahkota dan keris Samparaja oleh Bumi Partiga. (SMD)