Aroma Busuk Judi Warnai Pilkades


Oleh : Heryanto, S.Pd.

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan ajang demokrasi mulia untuk mencari pemimpin terbaik yang akan mengendalikan pembangunan desa selama 6 tahun. Seyogyanyalah pesta demokrasi ini dilangsungkan dengan murni dan tetap mengedepankan asas langsung,  umum,  bebas, dan rahasia (Luber). Oleh karenya, panitia yang diberikan wewenang untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut menyusun tata tertib dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dari pendataan pemilih, penetapan calon, tatacara pemilihan, hingga ke penghitungan suara disiapkan aturan main masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar murni dipilih oleh masyarakat dengan hati nurani  tanpa adanya motivasi lain.

Isu jual-beli suarapun tidak luput dari perhatian panitia. Untul itu, panitia mewajibkan para calon kades untuk membuat pernyataan tidak melakukan money politic. Bahkan seperti yang dilakukan oleh Panitia Pilkades Panda Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima yang sampai menyumpah calon dengan Al-Quran di atas kepala. Panitia melandasi aturan ini berdasarkan pengalaman pada pilkades-pilkades sebelumnya yang sarat dengan trik-trik money politic yang dilakukan oleh para calon dan tim suksesnya.  Aturan-aturan lain juga diterapkan, seperti larangan mencoblos dengan alat selain yang disiapkan panitia dan larangan membawa kamera ke dalam bilik suara.

Walaupun panitia pilkades sudah menerapkan aturan seketat mungkin, namun permasalahan lain yang sangat mengganggu kemurnian pilkades adalah aroma busuk perjudian. Akhir-akhir ini bukan rahasia umum lagi, bahwa pilkades dijadikan ajang judi besar-besaran. Tidak tanggung-tanggung,  ratusan juta uang perjudian beredar saat pilkades. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk bertaruh, sehingga jangan heran, jika pilkades dilaksanakan di suatu desa, jutru yang meramaikan adalah para penjudi dari desa lain yang datang sekedar mengundi nasib.

Permasalahan di atas memang sudah menjadi pertimbangan awal panitia. Panitia di beberapa desa pun menerapkan jam malam. Warga desa lain yang datang pada saat minggu/ hari tenang diharuskan melapor dan diberikan batas waktu. Namun, trik-trik yang dilakukan para penjudi justru diluar jangkauan pemikiran panitia. Mereka berani membayar penduduk setempat untuk menggerakkan uang mereka. Bahkan mereka berani memengaruhi pemilih dengan cara membeli suara demi keuntungan mereka (penjudi). Bagi pemilih yang memiliki prinsip tentu hal ini bukan masalah, tetapi pasti ada saja pemilih yang bisa diobrak-abrik imannya oleh uang. Kebusukan judi seperti inilah yang pasti mengganggu kemurnian hasil pilkades.

Yang sangat disesalkan, transaksi perjudian ini berlangsung di ujung hidung oknum aparat keamanan. Apalagi melarang atau menangkap, menegurpun tidak. Pembiaran oleh oknum aparat keamanan inilah yang menyebabkan ulah busuk para penjudi justru menjadi-jadi. Mereka (penjudi) turut mewarnai hasil pilkades yang seharusnya menjadi ajang yang terhormat dan mulia untuk menemukan pemimpin terbaik.

Lantas bagaimana ke depan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terjadi. Pemerintah tingkat atas dan aparat keamanan harus ambil bagian dalam memberantas masalah ini. Atau peraturan tentang pemimpin desa yang dipilih langsung sebaiknya ditinjau kembali. Apakah tidak akan lebih baik seperti di wilayah perkotaan yang menerapkan sistem kelurahan yang pemimpinnya lansung diangkat. Prosesi Pilkades benar-benar menguras tenaga dan pikiran bahkan tidak jarang terjadi konflik horizontal dan menimbulkan kerusakan yang parah. Semoga ini menjadi cerminan bersama untuk melahirkan formula terbaik dalam mencari pemimpin di desa. 
Share this post :

VIDEO KAMPUNG MEDIA

Arsip Kabar

Pengikut

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RIMPU CILI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger