Pemilihan Kepala Desa (Pilkades)
merupakan ajang demokrasi mulia untuk mencari pemimpin terbaik yang akan
mengendalikan pembangunan desa selama 6 tahun. Seyogyanyalah pesta demokrasi
ini dilangsungkan dengan murni dan tetap mengedepankan asas langsung, umum,
bebas, dan rahasia (Luber). Oleh karenya, panitia yang diberikan
wewenang untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut menyusun tata tertib dengan
memperhatikan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dari pendataan
pemilih, penetapan calon, tatacara pemilihan, hingga ke penghitungan suara
disiapkan aturan main masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
pemimpin yang benar-benar murni dipilih oleh masyarakat dengan hati nurani tanpa adanya motivasi lain.
Isu jual-beli suarapun tidak
luput dari perhatian panitia. Untul itu, panitia mewajibkan para calon kades
untuk membuat pernyataan tidak melakukan money politic. Bahkan seperti yang
dilakukan oleh Panitia Pilkades Panda Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima yang
sampai menyumpah calon dengan Al-Quran di atas kepala. Panitia melandasi aturan
ini berdasarkan pengalaman pada pilkades-pilkades sebelumnya yang sarat dengan
trik-trik money politic yang dilakukan oleh para calon dan tim suksesnya. Aturan-aturan lain juga diterapkan,
seperti larangan mencoblos dengan alat selain yang disiapkan panitia dan larangan membawa
kamera ke dalam bilik suara.
Walaupun panitia pilkades sudah
menerapkan aturan seketat mungkin, namun permasalahan lain yang sangat
mengganggu kemurnian pilkades adalah aroma busuk perjudian. Akhir-akhir ini
bukan rahasia umum lagi, bahwa pilkades dijadikan ajang judi besar-besaran. Tidak
tanggung-tanggung, ratusan juta uang
perjudian beredar saat pilkades. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk
bertaruh, sehingga jangan heran, jika pilkades dilaksanakan di suatu desa,
jutru yang meramaikan adalah para penjudi dari desa lain yang datang sekedar
mengundi nasib.
Permasalahan di atas memang sudah
menjadi pertimbangan awal panitia. Panitia di beberapa desa pun menerapkan jam
malam. Warga desa lain yang datang pada saat minggu/ hari tenang diharuskan
melapor dan diberikan batas waktu. Namun, trik-trik yang dilakukan para penjudi
justru diluar jangkauan pemikiran panitia. Mereka berani membayar penduduk
setempat untuk menggerakkan uang mereka. Bahkan mereka berani memengaruhi
pemilih dengan cara membeli suara demi keuntungan mereka (penjudi). Bagi pemilih
yang memiliki prinsip tentu hal ini bukan masalah, tetapi pasti ada saja
pemilih yang bisa diobrak-abrik imannya oleh uang. Kebusukan judi seperti inilah
yang pasti mengganggu kemurnian hasil pilkades.
Yang sangat disesalkan, transaksi
perjudian ini berlangsung di ujung hidung oknum aparat keamanan. Apalagi melarang
atau menangkap, menegurpun tidak. Pembiaran oleh oknum aparat keamanan inilah
yang menyebabkan ulah busuk para penjudi justru menjadi-jadi. Mereka (penjudi)
turut mewarnai hasil pilkades yang seharusnya menjadi ajang yang terhormat dan
mulia untuk menemukan pemimpin terbaik.
Lantas bagaimana ke depan. Hal ini
tentu tidak boleh dibiarkan terjadi. Pemerintah tingkat atas dan aparat
keamanan harus ambil bagian dalam memberantas masalah ini. Atau peraturan tentang
pemimpin desa yang dipilih langsung sebaiknya ditinjau kembali. Apakah tidak
akan lebih baik seperti di wilayah perkotaan yang menerapkan sistem kelurahan
yang pemimpinnya lansung diangkat. Prosesi Pilkades benar-benar menguras
tenaga dan pikiran bahkan tidak jarang terjadi konflik horizontal dan
menimbulkan kerusakan yang parah. Semoga ini menjadi cerminan bersama
untuk melahirkan formula terbaik dalam mencari pemimpin di desa.