Salah satu kondisi sekolah kita (Foto : Semar Brodoyono) |
Oleh : Heryanto, S.Pd
Kebijakan
pemerintah tentang Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah
Betaraf Internasional (SBI) kini menuai protes. Koalisi Anti Komersial Pendidikan
(KAKP) yang merupakan gabungan dari berbagai LSM menggugat ke MK agar Pasal 50 ayat 3 UUSPN 20/2003 yang merupakan
landasan hukum terbentuknya R/SBI dihapuskan. Mereka menilai dengan adanya
R/SBI telah terjadi tindakan diskriminasi dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Memang apa yang dikhawatirkan oleh KAKP ini
benar-benar sudah melanda dunia pendidikan kita. Khususnya R/SBI. Tindakan
diskriminasi ini dapat kita lihat dari beberapa hal.
1. Dengan diberikan kesempatan kepada R/SBI untuk
menyeleksi lebih awal siswa baru. Dengan demikian akan terjadi pengelompokan
siswa pintar pada sekolah tertentu. Hal ini sangat berbahaya bagi dunia
pendidikan karena bisa berdampak pada ekslusivisme pendidikan bahkan yang
tejadi sekarang ini sering meremehkan keberadaan sekolah lain.
2. Dengan peluang seleksi awal tersebut, membuka
peluang kecurangan yang akan dilakukan baik oleh panitia maupun sekolah asal
untuk merekayasa nilai rapor.
3. R/SBI rata-rata menetapkan nilai bayaran yang
tinggi sehingga jangan diharapkan orang-orang yang tidak mampu untuk ikut
mengenyam pendidikan di R/SBI. Walaupun hal ini banyak disangkal, kenyataannya
hal ini masih saja berlangsung.
Yang paling lucu adalah tentang keharusan adanya pembelajaran bilingual.
Pada kenyataannya di R/SBI tidak semua guru mampu memberikan pembelajaran
bilingual. Yang dipraktekkan selama ini pada saat supervisi dari pusat adalah
sandiwara atau kasarnya kebohongan. Guru bahasa Inggris yang ditugasi sementara
untuk mengajarkan materi Matematika dan IPA dan setelah supervisi itu berlalu
pembelajaranpun kembali menggunakan bahasa Indonesia. Di sisi lain, penggunaan
bahasa Inggris untuk bahasa pengantar dalam pendidikan sangat-sangat tidak
masuk akal. Hal ini di samping menyebabkan info pembelajaran tidak sampai
dengan baik karena rata-rata siswa tidak mampu berbahasa Inggris, juga
melecehkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Ditinjau dari prestasi R/SBI yang ada di kabupaten/ kota, biasa-biasa
saja. Justru prestasi muncul dari sekolah-sekolah non-R/SBI. Namun demikian
yang terjadi selama ini, Pemerintah terlalu mengistimewakan R/SBI dan menganaktirikan
sekolah non-R/SBI.
Di sisi lain yang paling penting untuk menjadi sorotan adalah pemaksaan
membentuk R/SBI untuk bertaraf internasional padahal standar nasional saja
belum tercapai. Dari delapan standar nasional pendidikan yang ditetapkan oleh
pemerintah itu yang bisa dikatakan terpenuhi hanya Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan. Namun dalam pelaksanaannya Standar isi dan standar
kompetensi lulusan tidak akan tercapai tanpa dukungan enam standar pendidikan
lainnya. Sebab kedelapan standar itu saling menunjang. Sementara di beberapa
daerah di Indonesia kondisi gedung sekolah dan sarana prasarana pendidikan
lainnya sangat mengkhawatirkan. Belum lagi pendidik dan tenaga kependidikan yang
belum memenuhi standar dan penempatannya yang belum merata.
Lantas mengapa R/SBI dipertahankan? Apakah karena undang-undang? Atau
bagian dari strategi gaya-gayaan untuk menunjukkan bahwa pendidikan di
Indonesia bermutu dan sudah maju? Ini pelanggaran luar biasa terhadap
kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Untuk apa
melayani sebagian orang dengan berbagai keistimewaan sementara di
pelosok-pelosok bangsa ini masih banyak anak-anak yang harus berjuang menyusuri
hutan dan menyeberangi sungai dengan menantang maut demi memperoleh pendidikan.
Melihat kondisi riil pendidikan di Indonesia, belum saatnya R/SBI
dipaksakan. Saatnya pasal yang mengatur tentang R/SBI ditinjau kembali. Pemaksaan
R/SBI adalah anomali pendidikan yang melanggar hak sebagian warga negara. Upaya
KAKP yang mengajukan yudicial reviuw ke Mahkama Konstitusi semoga menjadi
harapan baru untuk pendidikan yang berkeadilan tanpa adanya diskriminasi. Semoga.