Heryanto, S.Pd.Ina |
Baru-baru ini Kementerian Agama RI meluncurkan program Magrib Mengaji sebagai salah satu terobosan untuk memperbaiki akhlak umat terutama generasi muda. Dengan kegiatan ini diharapkan generasi muda sejak dini betul-betul memahami ajaran agamanya dan membiasakan diri untuk memanfaatkan waktu dengan hal-hal yang positif terutama mengaji atau pengajian selepas magrib. Di samping itu, kegiatan ini diharapkan bisa mengantisipasi kenakalan remaja yang akhir-akhir ini meresahkan sebagai akibat pola asuh yang salah dari orang tua yang cenderung membiarkan anaknya lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah.
Program
ini sebenarnya bukan hal yang baru di kalangan masyarakat kita yang islami.
Tradisi mengaji selepas magrib sembari menunggu isya, merupakan tradisi yang
berkembang di masyarakat islam sejak lama. Dahulu di mesjid, musala, surau,
bahkan di setiap rumah selalu terdengarkan anak-anak ataupun orang dewasa
mengaji.
Namun
akhir-akhir ini tradisi ini perlahan pudar. Entah lupa atau sengaja dilupakan
oleh para orang tua, kegiatan rumah tangga tergantikan oleh acara tontonan di
TV, shoping, ngerumpi, trek-trekan dengan motor, dugem ke tempat-tempat hiburan
malam, dan aktivitas malam yang terlepas dari nilai-nilai religius. Kenyataan
inilah yang mendorong pemerintah untuk melakukan berbagai gerakan antisipasi
dengan harapan tradisi-tradisi religius yang terlupakan itu dapat kembali
tertanam dalam setiap pribadi generasi kita.
Program
ini merupakan program yang suci sebagai mana program lainnya seperti Jumat
Khusu’ dan membumikan Al-Quran. Namun demikin, sebagus apapun program pemerintah
tidak akan berhasil tanpa ada regulasi, pengawasan, dan dukungan dari
masyarakat terutama para orang tua. Pemerintah
seharusnya meluncurkan setiap program dibarengi dengan prosedur yang jelas dan sistem pengawasan
yang ketat. Demikian pula para orang tua. Orang tua hendaknya kembali menyadari bahwa pembentukan
karakter anak dimulai dari rumah. Anak adalah amanah yang diterima
dari Tuhan dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Mengamini
program Kementerian Agama RI, Pemkot Bima di ulang tahun kesepuluhnya juga
meluncurkan program “Kota Bima Berzakat dan Magrib Mengaji”. Ini terlihat pada spanduk-spanduk
yang ditenteng oleh peserta Pawai Budaya HUT Kota Bima. Bahkan pada setiap
kesempatan hal ini menjadi tema pidato para pejabat Pemkot Bima. Program mulia
yang harus didukung oleh segenap masyarakat Kota Bima sebagai bagian dari wujud
masyrakat yang islami.
Namun
kenyataannya program ini belum terlihat progresnya. Buktinya sampai sekarang
masyarakat Bima saat magrib hingga seusainya masih terlihat ramai di tempat
seperti pertokoan dan lainnya. Terutama yang paling mencolok adalah aktivitas
di Amahami dan sekitarnya. Sebelum magrib tempat favorit masyarakat Bima ini
sudah dipenuhi anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Tentunya dengan tujuan masing-masing.
Keadaan ini berlangsung hingga seusai magrib bahkan hingga tengah malam. Adakah
mereka solat? Wallahualam. Tetapi yang jelas yang namanya magrib mengaji sungguh
tidak mungkin.
Hal
ini seharusnya menjadi perhatian serius seluruh kalangan di Bima. Pemerintah,
masyarakat, orang tua, lebih-lebih pribadi generasi muda. Pemerintah hendaknya
membuat aturan yang tegas untuk mendukung terlaksananya magrib mengaji.
Pengawasan seperti patroli oleh Pol PP/ Linmas sebaiknya diaktifkan lagi.
Jangan sampai seperti larangan buka toko dan larangan lewat pada saat Solat Jumat kini tidak berlaku lagi.
Hanya segelintir saja yang masih mempertahankannya.
Demikian
pula masyarakat dan para orang tua. Seharusnya menyadari bahwa program yang ini
tidak akan terlaksana tanpa kesadaran penuh dari masyarakat dan orang tua. Kini
saatnya kita berbuat untuk mempersiapkan generasi kita,. Generasi yang religius
yang akan melanjutkan bangsa ini. Jangan sampai kita meninggalkan mereka dalam
keadaan yang lemah. Terutama lemah imannya.
Kalau
tidak sekarang, kapan lagi. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah
kebaikan.Semoga dengan demikian “Magrib Mengaji’ tidak hanya menjadi sebuah
slogan yang terpajang tanpa makna apa-apa.