Oleh : Heryanto, S.Pd. Ina
Masih ingat dalam benak kita
masa-masa kepemimpinan Orde Baru. Dimana pada saat itu terdapat tiga partai
yang bermain di kanca perpolitikan Indonesia. Seperti juga halnya sekarang,
dari ketiga partai itu ada yang mendapat julukan partai pemerintah atau partai
penguasa. Artinya, pada saat itu seluruh aparatur pemerintah diarahkan untuk
mendukung salah satu partai. Termasuk di dalamnya adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Mau tidak mau, suka tidak suka, PNS harus memilih partai tersebut.
Bahkan diwajibkan untuk berkampanye dan meraih suara sebanyak-banyaknya. Bagi
siapa yang terbukti tidak mendukung, bukan lagi bahasa “awas” yang didapat
tetapi tindakan tegas yang menyangkut kedudukannya sebagai PNS. Saat itu pula
PNS diwajibkan memberikan iuran bagi partai tersebut. Walaupun pemilunya
berslogan LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rahasia).
Ketika reformasi bergulir dan
Orba pun runtuh, adalah sedikit angin baik bagi perkembangan demokrasi di
negeri ini. Pemilu Tahun 1999 merupakan pemilu paling demokratis. Dimana PNS
benar-benar bebas menentukan pilihan berdasarkan hati nuraninya. Namun keadaan
ini tidak berlangsung lama. Demokrasi yang suci itupun kembali ternoda dengan
munculnya mahluk yang bernama Otonomi Daerah (OTDA).
Semula OTDA merupakan harapan
baru bagi bangsa ini. Karena memang kebijakan tidak lagi tersentralisasi ke
pusat. Masing-masing daerah diberikan wewenang untuk mengurus wilayahnya
berdasarkan Undang-Undang dan peraturan yang ada. Namun pada prakteknya OTDA
melenceng dari tujuan semula. Kebijakan yang berpusat pada Bupati/ walikota justru
bencana bagi hak demokrasi PNS.
Walaupun tulisan ini tidak
bertujuan menggeneralisasi keseluruhan proses demokrasi di masa OTDA, tetapi
kenyataan pemaksaan kehendak kepada PNS benar-benar telah terjadi. Sekarang
bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa ketika Pemilukada PNS dikondisikan untuk
mendukung Calon Bupati/ Walikota yang tengah berkuasa. Memang prakteknya tidak
tampak seperti masa ORBA, tetapi permainannya sungguh lebih cantik. Para Tim
Sukses dibentuk untuk menghalalkan berbagai cara. Termasuk melakukan pemantauan
terhadap PNS yang melenceng. Kalau PNS terindikasi melenceng oleh mereka, maka
tunggu saja. Kalau dia pejabat akan dicopot dan kalaupun dia PNS biasa, akan
dimutasi ke tempat-tempat terpencil atau ke tempat-tempat yang tidak sesuai
dengan profesionalisme PNS yang bersangkutan.
Sepertinya tidak ada ruang
demokrasi bagi PNS di negeri ini. Netralisasi PNS dalam Pemilu atau Pemilukada
yang diatur oleh Undang-Undang hanya omong kosong. Kini yang berlaku hanyalah
aturan mereka. Aturan penguasa.
Nasib PNS dalam pergulatan
politik di daerah sekarang benar-benar seperti makan buah simalakama, dimakan ibu
mati, tidak dimakan ayah meninggal. Kalau terlibat dan orang yang didukung
kalah, maka mereka siap-siap mejadi pusat aksi balas dendam. Yang tidak
terlibat atau diampun sama nasibnya. Inilah kenyataan yang dialami
oleh PNS di sebagian daerah. Harapan untuk menyalurkan aspirasi secara bebas
sirna. Padahal ketika ORBA runtuh, PNS seperti keluar dari mulut harimau,
tetapi sekarang seakan-akan kembali masuk ke mulut singa. Benar-benar serba
salah.
Lantas sampai kapan keadaan ini
berlalngsung? Bagaimana kalau PNS diatur seperti TNI-POLRI? Jawabannya kembali “Semua
tergantung penguasa.”