USAI pengukuhan pengurus FOKAL IMM Bima, Sabtu (22/2), kegiatan tersebut dilanjutkan dengan
dialog Kebudayaan Bima dengan tema “Eksistensi
Budaya Bima, Kini dan Masa Lalu”. Para pembicara antara lain Drs. H. Zainal
Arifin (Budayawan Bima berdomisili di Mataram) dan Ihlas Hasan, M.Pd (akademisi
Bima) masing-masing menguraikan tentang budaya Bima dalam perspektif yang
berbeda.
Zainal menguraikan tentang sejarah dan mitos budaya Bima. Menurut Zainal, sebagian besar budaya Bima telah punah. Bahkan generasi muda
Bima tidak paham tentang budayanya sendiri. Termasuk dalam hal tutur kata yang
santun dalam perspektif budaya Bima. “Etika pergaulan
yang sudah semakin bebas dan membias dari nilai-nailai Islam,” katanya.
Dialig Kebudayaan: Eksistensi Budaya Bima |
Menurut Zainal, masyarakat Bima harus mengembalikan identitas Bima yang
asli, seperti budaya rimpu, hanta U’a Pua. Menurutnya, semua itu dapat terwujud
apabila semua pihak ikut berperan, yang terpenting adalah kesadaran generasi
muda untuk mempelajari kembali tentang sejarah dan khazanah budaya Bima.
“Saya kira cara untuk mengembalikan prasasti sejarah Bima, semua pihak harus
terlibat dan punya inisiatif, tanpa terkecuali. Lebih-lebih bagi anak-anak
muda” ujar bapak yang sudah menulis buku setebal 1.500 halaman tetang Budaya
Bima.
Sementara itu, Ihlas Hasan dalam menyampaikan materi menjelaskan bahwa
generasi Bima sekarang berada dalam budaya yang tak beridentitas alias
budaya kegalauan. Antara mempertahankan budaya lokal atau menjemput budaya
luar.
Harus disadari, kata Ihlas, anak muda sekarang sedang berada dalam
suasana euforia budaya. Bahkan sebagian besar
generasi Bima sudah terjebak pada perangkap budaya barat sebagai hasil dari
muntahan pemikiranbarat yang melenceng dari syariat Islam. “Hal ini terjadi karena cara pandang masyarakat yang keliru terhadap
pekembangan yang ada,” katanya.
Selain itu menurut Ihlas, terjadinya disorientasi budaya yang dialami oleh
generasi sekarang adalah sajian program atau acara pada media massa seperti TV
yang tidak bernilai edukasi. Budaya hedonis dan materialisme secara massif
dipertontokan dan disosialisasikan oleh para penguasa media.
“Nyaris semua channel TV
menampilkan gaya kehidupan yang serba mewah sebagai para meter kehidupan
sukses. Kecantikan sebagai ukuran perempuan modren, tontonan yang bias
gender, dan lain-lain yang telah rusak cara berfikir generasi,” terangnya.
Pada kondisi ini, generasi Bima sudah tidak lagi berfikir rasional.
Mahasiswa sudah mulai sepi membaca buku dan kajian-kajian keIslaman nyaris
tidak dilakukan lagi. Sehingga jangan konstruksi berfikir generasi sekrang
cenderung mengiktui cara berfikri media yang serba praktis dan instan.
Lanjut Ihlas, solusi untuk mengatasi masalah ini, mengoptimalkan peran perguruan Tinggi yang ada di kota dan Kabupaten Bima. Bagaimanapun juga, kampus
sebagai dapur intelektual memiliki tugas untuk menyelmatkan pendidikan dan
kebudayaan yang ada. Paling tidak, efektifitas Tri Darma Perguruan tinggi harus
ditingkatkan lagi.
“Tentu hal ini merupakan pekerjaan yang
teramat berat. Dibutuhkan kesabaran dan kesadaran akademis bagi masyarakas
kampus. Lebih bagi pemangku kebijakan pada perguruan Tinggi agar berpikir keras
untuk menyelamatakan Bima dari gempuran modernitas yang mematikan ini,” tandasnya. (smd)