Motivator Rimpu Cili menerobos jalan berkubang |
Angin sepoi lembut menyentuh di
cela pepohonan mente yang berjajar rapi. Beberapa ekor kutilang berlompatan
dari ranting ke ranting, menghirup embun yang tersisa semalam. Sinar matahari
pagi menusukkan cahaya di cela dedaunan dan mengukir telauan bayangan di
rerumputan. Beberapa ekor sapi masih terbaring malas dekat tong penanpung
makanan. Rumah- rumah masih mengepulkan asap dapur. Dari kejauhan terdengan
gema orang-orang berpanggilan yang dipantulkan dari arah lembah. Beberapa orang
sudah memulai aktivitas pertanian. Begitulah
suasana Jumat pagi (28/12/12) ketika KM Rimpu Cili menyambangi Dusun Sorigenda.
Dusun Sorigenda, itulah nama yang
melekat pada sebua dusun yang terletak di desa Panda kecamatan Palibelo Bima ini.
Walaupun Sorigenda berada di desa Panda yang letaknya sekitar 7 km dari Kota
Bima, tidak semua orang bima mengetahui
keberadaan dusun ini. Menurut beberapa sumber, dinamakan Sorigenda karena
dahulu ada sebuah air terjun yang terletak di belakng dusun yang bunyi airnya
mirib suara tabuhan gendang. Entah siapa pula yang memberikan nama itu. Tetapi
dari pengertiannya Sorigenda berasal dari dua kata, yakni Sori (kali) dan Genda
(gendang).
Dahulu Sorigenda bisa dikatakan
dusun yang sangat terbelakang di desa kami. Dusun ini dahulunya hanya dihuni
oleh beberapa kepala keluaraga (KK) yang mempati pondok-pondok pada setiap
tegalan. Umumnya mereka adalah pendatang dari pedalaman kecamatan Palibelo,
yakni Tonggorisa, Ragi, dan Teke. Puluhan tahun lalu mereka dengan keuletannya
mulai menggarap tegalan kosong di bagian belakang kampung kami. Lama-kelamaan,
dusun ini berubah dan mengalami kemajuan terutama di bidang pertanian. Hal
inilah yang menarik kami (KM Rimpu Cili) untuk menelusuri aktivitas masyarakat
petani di Sorigenda.
Anak-anak Sorigenda menyusuri jalan tanpa alas kaki |
Pagi itu kami disambut oleh salah
seorang sesepuh Sorigenda. H. Abdurrahman Yasin (Abu Dero) yang sekaligus
sebagai Ketua “Kelompok Tani Sorigenda” yang sangat terkenal. Keberhasilan Kelompok
Tani Sorigenda hingga menjadi perwakilan Bima, maupun NTB di tingkat nasional.
Kamipun disambut dengan singkong rebus hasil kebunnya sendiri. Begitulah
keramahan warga Sorigenda pada umumnya dan setiap menyambut tamu, baik dari
kabupaten maupun yang dari pusat, selalu disuguhi dengan hasil alam sekitar.
Sungguh keakraban yang sempurna.
Dari cerita Abu Dero, kami
mendapatkan informasi yang mendalam tentang sori genda. Masyarakat rata-rata
pendatang ini merupakan masayarkat yang kompak. Semangat gotongroyong di antara
mereka masih tetap terjaga. Urusan kemasyarakatan, pertanian, dan lainnya
selalu ditangani dengan cara gotong royong. “Dengan demikian segala urusan jadi
lebih mudah dan persatuan tetap terjaga. Kami pun saling membantu dalam hal
pembiayaan pendidikan anak-anak kami, “ tutur bapak yang sudah makan asam garam
di Sorigenda ini.
Memang, kenyataannya Sorigenda yang
sekarang bukan lagi Sorigenda yang dahulu. Semua telah berubah. Tegalan yang
dahulunya kosong, kini sudah dirindangi tanaman tahunan seperti mangga, mente,
dan lainnya. Rumah-rumah yang dahulunya gubuk-gubuk kecil, kini berubah menjadi
rumah-rumah panggung dan sebagian permanen. Anak-anak mereka yang dahulu
pendidikannya terbatas, kini sudah banyak yang mampu mencapai sarjana. Belum
lagi sebagian besar penduduknya sudah berhaji.
Jejeran pohon kelor. Salah satu sumber ekonomi warga Sorigenda |
Yang paling unik dari penelusuran
kami, keberadaan pagar keiling kebun petani yang merupakan jajaran pohon kelor
yang begitu rapi. Dari penjelasan Abu Dero, setiap harinya sekitar 4 sampi 5
gerobak daun kelor Sorigenda di sebar ke pasar-pasar Bima dan Kota Bima. “Ini
merupakan penghasilan tambahan ibu-ibu di sini. Sebelum matahari terbit,
ibu-ibu di sini sudah memetik kelor untuk dijual ke pasar. Ya, cukuplah untuk
menambah kebutuhan dapur warga kami, “ungkapnya. Dari penjelasan Abu Dero pula
kami mendapatkan pelajaran bahwa agar daun kelor tidak cepat rontok, harus
dipetik sebelum matahar terbit.
Dari saung Abu Dero, perjalanan kami lanjutkan ke timur. Kami
menyusuri jalan poros desa yang dibuka sejak tahun 2005. Saat pembukaan jalan itu, masyarakat
menyambut baik dengan mengiklaskan sebagin
lahan mereka untuk dibuatkan jalan. Keberadaan jalan ini sangat membantu
kelancaran transportasi warga Sorigenda yang dahulunya sangat sulit. “Dengan adanya jalan ini, kegiatan ekonomi
warga sori genda makin lancar. Sepeda motor, Mobil, bahkan Truk sudah bisa
sampai ke sini. Dahulu warga sori genda mengangkut hasil pertanian dengan jalan
kaki. Alhamdulillah sekarang semuanya jadi lancar,” ungkap Edon (Adhar) pemuda
asli Sorigenda yang juga giat di KM Rimpu Cili.
Namun, Edon juga mengeluhkan
kondisi jalan poros Sorigenda makin memprihatinkan. Sejak dibuka tahun 2005
sampai sekarang, pengerjaannya hanya sampai pada pengerasan saja. Jadi pada
musim hujan jalan ini becek dan sangat sulit dilewati dengan kendaraan. Oleh karena
itu, mewakili warga ia berharap
pemerintah Kabupaten Bima bisa segera mengaspal jalan sepanjang 2 KM ini.
Sebuah rumah pohon di Dusun Sorigenda |
Penelusuran kami berlanjut sampai
ke ujung jalan poros desa. Kami juga menyempatkan diri singgah di sebuah rumah
pohon yang dirancang oleh anak-anak muda sori genda yang sengaja dibangun untuk
melepaskan lelah. Dalam suasana yang akrab itu, selain keberhasilan warga sori
genda menata hidup, kami juga mendapatkan keluhan dari mereka. “Kendala utama
yang masih kami hadapi adalah kekurangan sumber air. Setiap musim kemarau hanya
beberapa sumur yang aktif. Sebagian warga harus berjalan jauh untuk mengambil
air,”ungkap salah seorang warga.
Memang kenyataannya sejak dahulu,
air menjadi kendala di sorigenda. Di area yang lebih dari 50 hektar ini hanya
terdapat 9 sumur. Itupun hanya sebagaian yang bisa dipakai di musim kemarau.
Selama ini pertanian dikelola dengan sistem
tadah hujan. Berkat keuletan merekalah tanaman mangga, mente, dan
lainnya tumbuh. Menurut salah seorang warga sekita 10 tahun yang lalu pernah
dialirkan air yang bersumber dari mata air Wadu Mba’i (nama mata air yang
letaknya ± 2 KM dari Sorigenda. Namun, pipa-pipa bantuan pemerintah itu sekarang sudah
tidak ada lagi akibat penataan yang tidak proporsional oleh kontraktor pada
saat itu. “Pipa-pipanya diletakkan begitu di atas tanah sehingga ada yang diinjak
ternak dan dicuri orang. Semoga masih ada perhatian pemerintah untuk membatu
kami mengatasi masalah air inui,” ungkap Muhammad Ali warga asli Sorigenda.
Demikianlah sekelumit penelusuran kami tentang Sorigenda. Sebelum
waktu Jumat, kami beranjak pulang dengan membawa kenangan tentang suasana dusun
kecil dan pelajaran tentang kehidupan akan pentingnya semangat kerja keras,
kekeluargaan, dan kesabaran. (Teon)