Oleh : Heryanto, S.Pd
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat undang-undang dan reformasi memang membawa dampak positif bagi percepatan pembangunan daerah, peningkatan layanan publik, peningkatan ekonomi masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya otonomi daerah tidak jarang memunculkan polemik baru sebagai akibat segala kebijakan berada penguasa daerah dalam hal ini Bupati dan Walikota.
Permasalahan nyata yang muncul terutama dalam hal rekrutment pejabat-pejabat daerah seperti kepala dinas ataupun pejabat publik lainnya. Sejak otonomi diberlakukan, pengangkatan pejabat-pejabat dipolitisasi secara berlebihan di mana nuansa kepentingan pihak-pihak tetentu mewarnai prosesnya. Orang-orang yang ditunjuk adalah orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sesuai yang diharapkan. Akibatnya terjadi pemerintahan yang salah urus.
Kebijakan di atas juga merambah dunia pendidikan kita. Padahal, pendidikan adalah wadah untuk menciptakan generasi yang potensial dengan pekerti luhur ternyata dinodai oleh kepentingan penguasa dimana salah satunya dalam proses pengangkatan kepala sekolah yang cenderung mengabaikan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Permendiknas Nomor 12 tahun 2007. Justru yang terjadi bahwa pengangkatan kepala sekolah dihajatkan untuk orang-orang terdekat dan tim sukses walau tidak memenuhi syarat seperti yang dihajatkan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Sepertinya sekarang untuk menjadi seorang kepala sekolah tidak lagi memerlukan pengabdian serius, kompetensi, dedikasi, dan lainnya. Melainkan dengan sedikit cari muka, berperan sebagai tim sukses saat pilkada, yakin saja bahwa anda akan dengan gampang menjadi kepala sekolah.
Jika permasalahan di atas dibiarkan berlangsung, maka tunggu saja dunia pendidikan ini hancur dan tidak memberikan makna apa-apa dalam membentuk sumberdaya manusia yang diharapkan. Namun, betapa pun hebatnya keinginnan memperbaiki prosedur pengangkatan kepala sekolah atau pengangkatan pejabat publik lainnya, tidak akan terlaksana tanpa adanya kesadaran dan niat baik dari sang pemilik kebijakan, yakni bupati dan walikota.
Bagaimana dengan prosedur yang diterapkan di Nusa Tenggara Barat? Semoga saja tidak ternoda. Wassalam.